Orang yang melakukan kajian secara
mendalam mendapati bahwa dasar-dasar dan pokok-pokok penting bagi ilmu riwayat
dan penyampaian berita dijumpai di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Sedangkan di dalam sunnah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (berita, yaitu hadits), lalu ia menyampaikan berita itu sebagaimana yang ia dengar. Dan mungkin saja orang yang menerima berita itu lebih paham dari orang yang mendengarnya.” (HR. At-Tirmidzi).
“Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (berita, yaitu hadits), lalu ia menyampaikan berita itu sebagaimana yang ia dengar. Dan mungkin saja orang yang menerima berita itu lebih paham dari orang yang mendengarnya.” (HR. At-Tirmidzi).
Pada ayat dan hadits yang mulia ini
terdapat prinsip yang tegas dalam mengambil suatu berita dan tata cara
menerimanya, dengan cara menyeleksi, mencermati, dan mendalaminya sebelum
menyampaikannya kepada orang lain.
Dalam upaya melaksanakan perintah
Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat telah
menetapkan hal-hal yang menyangkut penyampaian suatu berita dan penerimaannya,
terutama jika mereka meragukan kejujuran si pembawa berita. Berdasarkan hal
itu, tampak nilai dan pembahasan mengenai isnad dalam menerima dan
menolak suatu berita. Di dalam pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari
Ibnu Sirin, “Dikatakan, pada awalnya mereka tidak pernah menanyakan tentang
isnad, namun setelah terjadi peristiwa fitnah maka mereka berkata, ‘Sebutkanlah
kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadits kepadamu.’ Apabila orang-orang
yang meriwayatkan hadits itu adalah ahlu sunnah, maka mereka ambil haditsnya.
Jika orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah ahli bid’ah, maka mereka
tidak mengambilnya.”
Berdasarkan hal ini, maka suatu
berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanadnya. Karena itu
muncullah ilmu jarh wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi, cara
untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau terputus (munqathi’)-nya
sanad, mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Muncul pula ucapan-ucapan
(sebagai tambahan dari hadits) sebagian perawi meskipun sangat sedikit karena
masih sedikitnya para perawi yang tercela pada masa-masa awal. Kemudian para
ulama dalam bidang itu semakin banyak, hingga muncul berbagai pembahasan di
dalam banyak cabang ilmu yang terkait dengan hadits, baik dari aspek ke-dlabithan-nya,
tata cara menerima dan menyampaikannya, pengetahuan tentang hadits-hadits yang nasikh
(menghapus) dari hadits-hadits yang di-mansukh (dihapus), pengetahuan
tentang hadits-hadits yang gharib (asing/menyendiri), dan lain-lain.
Semua itu masih disampaikan ulama secara lisan.
Lalu, masalah itu semakin
berkembang. Lama kelamaan ilmu hadits ini mulai ditulis dan dibukukan, akan
tetapi masih terserak diberbagai tempat di dalam kitab-kitab lain yang
bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul, fiqh, dan ilmu hadits.
Contohnya ilmu Ar-Risalah dan Al-Umm Imam Syafi’i.
Akhirnya, ilmu-ilmu itu semakin
matang, mencapai puncaknya dan memiliki istilah tersendiri yang terpisah dengan
ilmu-ilmu lainnya. Ini terjadi pada abad keempat Hijriah. Para ulama menyusun
ilmu musthalah dalam kitab tersendiri. Orang yang pertama menyusun kitab dalam
bidang ini adalah Qadli Abu Muhammad Hasan bin Abdurrahman bin Khalad
Ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H.), yaitu kitab Al-Muhaddits Al-Fashil Baina
Ar-Rawi wa Al-Wa’i.
Rujukan:
Taysir Musthalah al Hadits, Dr. Mahmud Thahan: Pustaka Thariqul Izzah
Taysir Musthalah al Hadits, Dr. Mahmud Thahan: Pustaka Thariqul Izzah
No comments
Post a Comment